Laman

Jumat, 21 September 2012

Pembunuhan Ruang Tertutup | Part 1

Bagi gue, pembunuhan seorang anak band bernama Bambang merupakan salah satu kasus yang memiliki nilai seni yang tinggi. Sekitar setahun yang lalu, seseorang datang ke kosan gue untuk menceritakan semuanya. Wajahnya yang penuh kerutan di pipi dan memiliki rambut yang sudah dipenuhi uban adalah sebuah ciri yang siapa pun dapat menyimpulkan kalau umurnya tidak lagi muda. Kegelisahan yang hebat sangat menonjol di dalam diri pria tua itu sehingga Dio, asisten gue, memberikannya segelas teh hangat untuk menenangkan diri. Beberapa menit berlalu. Tamu gue itu masih terdiam di ambang pintu. Tangannya bergetar cukup dahsyat.

Gue langsung menawarkan kursi plastik warna merah tanpa sandaran yang biasanya ada di warung kopi kepada klien. Ia lalu duduk dengan tingkat kegelisahan yang masih sama seperti sebelumnya. Sebagai detektif, gue tentu saja tidak membiarkan klien gue itu diam lebih lama.

"So, ceritakan aja semuanya sekarang, Pak."

"Pembunuhan! Siapa orang yang tega membunuh anak baik itu!"

"Kapan itu?"

"Sekitar tiga jam yang lalu."

"Siapa yang terbunuh, Pak?"

"Anak majikan saya, namanya Bambang."

"Oh iya, nama anda?"

"Saya Dani. Umur saya 59 tahun."

"Kenapa bukan orangtuanya Bambang aja yang datang kesini?"

"Mereka sangat terpukul. Bahkan ibunya si Bambang itu mendadak pingsan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Jadi majikan saya, Pak Irawan, tidak bisa datang dan menyuruh saya mewakilinya dan menceritakan semuanya."

"Udah lapor polisi?"

"Sudah, tapi salah satu polisi menyarankan majikan saya untuk minta pertolongan kamu, Jang."

"Pasti itu Pardi deh. Oke, apa yang ditemukan di TKP, Pak?"

"Bambang meninggal di kamarnya. Pintu kamarnya terkunci dari dalam."

"Ada jendela kamar?"

"Tidak ada, kamarnya di set untuk pakai AC gitu."

"Ruang tertutup. Menarik. Senjata yang membunuhnya?"

"Bambang seperti menyakiti dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya penuh luka. Tapi penyebab kematiannya pisau kecil yang menyayat nadinya."

"Hmm, kayak bunuh diri. Berapa umur Bambang itu?"

"Sekitar 21 tahun."

"Jelaskan apapun tentang si Bambang ini," gue menghidupkan rokok. Situasi yang cukup pas untuk menghisap barang yang mengandung nikotin itu.

"Dia orangnya suka ngomong, anak band, dia gitaris. Selain itu dia juga suka main game di komputer terus baca buku chord gitar gitu. Setahu saya hanya itu."

"Anak band... Hmm..." kata gue sambil menghisap rokok. Entah kenapa sebuah fakta tentang anak band membuat gue tertarik.

"Iya, bandnya cukup sering gonta ganti personil."

"Darimana anda tahu?"

"Soalnya mereka kan sering latihan di rumah dan Bambang cukup sering menceritakan tentang bandnya ke saya."

"Bambang punya kakak atau adik?"

"Kakak satu, namanya Ayu dan adik satu namanya Rangga."

"Tiga bersaudara. Alamat anda kerja itu dimana?"

"Jalan Sumatera nomor 43."

"Apakah ada yang aneh sama Bambang akhir-akhir ini?"

"Hmm, dia lumayan sering keluar malem belakangan ini. Oh iya, kemarin lusa dia bilang kalau dia ada projek, kalau gak salah namanya projek CAGE."

"CAGE! Waw, ini menarik banget Dio! ada lagi yang aneh, Pak?"

"Gak ada lagi."

"Oke, cukup sekian. Nanti siang saya ke rumah majikan anda itu. Apakah majikan anda ada di rumah?"

"Saya rasa kalau siang ini belum. Mereka sekeluarga lagi di rumah sakit. Si Rangga sama Pak Irawan balik malam katanya, soalnya mereka ada aktivitas besoknya. Kalau si Ayu di rumah sakit sampai besok, soalnya gak ada jadwal kuliah. Itu yang saya dengar dari Pak Irawan."

"Sip, sekarang anda boleh pulang."

Pak Dani diantar Dio kebawah. Klien tua itu telah meninggalkan sebuah kasus yang menurut gue amazing. Gue kemudian duduk di kursi istimewa, sebuah kursi komputer berukuran sedang yang bisa berputar. Tentu saja sembari ditemani sebatang rokok yang tinggal setengah untuk menemani gue berpikir sejenak. Tak lama kemudian sebuah suara tapak kaki dari arah tangga terdengar semakin kencang. Ya, Seperti biasa Dio membawa segudang rasa penasaran yang tertanam di wajahnya bila ada kasus datang. Tubuhnya yang proporsional tampak tidak sepadan dengan kemampuan berpikirnya.

"Jang, jadi gimana analisis sementara lo?" kata Dio. Ia menatap gue dengan senyuman termanisnya. Dan itu sangat mengganggu.

"Anak band, terkadang banyak fans walaupun bandnya gak terkenal, tapi juga terkadang memiliki banyak musuh."

"Jadi kita cuman fokus kesana? terus gimana dengan proyek CAGE?"

"Mana gue tau, cumi!"

"Yee, kalem atuh Jang."

"Terus kenapa Bambang akhir-akhir ini suka keluar malem, Dio? kebiasaannya maen game atau baca buku gitar juga mungkin ada hubungannya. Kepingan puzzle yang lainnya ada di Jalan Sumatera nomor 43, Dio. Kita entar kesana."

"Sip, jadi kapan kita kesana, Jang?"

"Sekarang baru jam 12 siang. Entar aja kita kesana setengah jam lagi."

"Tanggung amat setengah jam lagi, sekarang aja ngapa?"

"Kalo sekarang gue mau pup dulu. Lo mau gue pup di tengah jalan? belepotan kayak kotoran kuda gitu?"

"Najis."

Gue langsung bergegas ke WC yang berada di luar kamar. Sementara Dio sukses membajak komputer gue untuk memainkan game Angry Birds.

___________________________________________________________

Yah, begitulah kira-kira artikel awal kasus pembunuhan Bambang itu. Nah, gue mau ngasih kesempatan para pembaca untuk mengira-ngira apa itu CAGE. Menurut kalian, apa itu projek CAGE yang dibicarakan Bambang ke Pak Dani?
___________________________________________________________